PERAN MEDIA : MENYOAL INTOLERANSI DALAM KEBHINEKAAN BERMASYARAKAT

Kasus intoleransi yang berujung pada kekerasan sosial sepertinya sudah menjadi budaya baru bagi bangsa Indonesia yang dikenalsebagai bangsa yang ramah dan sopan. Masih hangat ingatan kita dengan kasus yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia seperti penutupan tempat ibadah, pelarangan aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan tempat ibadah, dan larangan melakukan diskusi di kampus hingga kasus intoleransi yang berujung pada perusakan dan kekerasan sosial. Kejadian intoleransi yang berimbas pada kekerasan sosial tentu menjadi komoditas yang laku untuk diperjualbelikan.Media massa masih menganggap “Bad news is a good news” karena berita-berita seperti itupasti akan menarik perhatian masyarakat.

Dengan melihat fenomena seperti itu, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (KPID DIY) mengadakan sebuah kegiatan forum diskusi publik yang bertema “Menyoal Intoleransi dalam Kebhinekaan Bermasyarakat. Apa Peran Media?” pada hari Senin tanggal 23 Mei 2016 bertempat di Aula Dinas Komunikasi dan Informatika DIY Jl. Brigjen Katamso.

Adapun tujuan dari terselenggaranya forum ini untuk membuka wawasan masyarakat bahwa apa yang dilakukan oleh media dapat berdampakpada sikap intoleransi yang dapat berujung pada kekerasan sosial di masyarakat, meningkatkan kesadaran akan pentingnya “melek media” (media literacy) karena apa yangdisampaikan oleh media kadang tidak selalu sesuai dengan realitas social, dan memberikan masukan kepada media agar berperan sebagai penengah dan pencari solusiatas berbagai tindakan intoleransi dan kekerasan sosial yang terjadi di Indonesia.

Keterangan dari pembicara pertama, AKBP Suswanto, S.Ik., M.Si selaku Wadirintelkam Polda DIY untuk menghindari serta mengatasi konflik intoleransi, perlu menggunakan langkah strategis, dan sebaiknya dimulai dengan pembangunan dari lingkungan terdekat, misal dari suami-istri, keluarga, masyarakat tempat tinggal. Lingkungan paling dekat yang harus dibangun terlebih dahulu, selain itu didampingi dengan pembangunan spiritual, belajar untuk saling menghargai perbedaan satu dengan yang lainnya.

Menurut Hafizen dari Lembaga Kajian Islam Sosial, Media cetak, media elektronik menjadi hal yang sangat penting untuk membentuk pola pikir masyarakat, oleh karena itu, media televisi sering disebut sebagai magic box. Media harus menjadi alat untuk penyampai informasi yang sesuai dengan fakta, bisa menjadi early warning system, sebagai social control masyarakat, dan diharapkan media harus lebih condong dalam membela kepentingan hak asasi manusia, bukan malah mementingkan kepentingan politik pemilik media.

Sedangkan, Hajar Pamundi, S.T. selaku Komisioner KPID DIY mengharapkan kekerasan dan intoleransi tidak menjadi budaya di Yogyakarta. Media seharusnya menaati asas, tujuan, fungsi, serta arah penyelenggaraan penyiaran yang telah ditetapkan pada UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 serta sesuai dengan tujuan yang tercantum pada bagian ke empat pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Media memiliki beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir intoleransi serta kekerasan, diantaranya talkshow melibatkan tokoh yang netral, iklan layanan masyarakat, dan radio komunitas. Radio komunitas berperan sebagai media yang mampu merangsang demokrasi dan dialog masyarakat sekitar radio komunitas, menenangkan dan mendamaikan susasana, dan sebagai social warning system. (mrs)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *