Diskusi Publik KPID DIY : Masukan terhadap Rencana Revisi Undang-Undang Penyiaran

1

 

Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa pada tahun 2016 ini Revisi Undang-Undang Penyiaran kembali masuk dalam Prolegnas DPR RI. Ini artinya naskah atau draf undang-undang penyiaran yang baru akan dibahas dan akan segera disahkan pada tahun ini. Ada beberapa isu utama yang akan dan tengah dibahas dalam RUU ini, yaitu yang berkaitan dengan reposisi peran KPI dan rencana untuk mengakomodasi perkembangan teknologi informasi yang sudah berkembang sedemikian pesat sementara undang-undang yang sudah tidak mampu lagi menjangkau kemajuan tersebut.

3

Mengingkat betapa pentingnya materi-materi di atas dan dalam rangka update informasi terkini yang berkaitan dengan substansi capaian pembahasan serta dalam rangka memberikan masukan kepada DPR RI dalam membahas RUU Penyiaran,  maka KPID DIY telah mengadakan diskusi publik dengan tema “Masukan terhadap Rencana Revisi Undang-Undang Penyiaran” pada hari Rabu tanggal 23 Maret 2016 di Aula Diskominfo DIY Jl. Brigjen Katamso.

Adapun narasumber pada diskusi publik kali ini adalah S.Rahmat M.Arifin, S. Si. dari KPI Pusat,  Puji Rianto M.A. dari PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) DIY, dan Ketua KPID DIY Sapardiyono, S.Hut. M.H.. Diskusi publik dimoderatori oleh Komisioner KPID DIY Sukiratnasari, S.H..

Diskusi publik diawali dengan sambutan oleh Ketua KPID DIY Sapardiyono, S.Hut. M.H.. Kemudian dilanjutkan oleh pemaparan oleh S.Rahmat M.Arifin, S. Si.. Rahmat menyampaikan tentang urgensi Revisi UU Penyiaran yang secara teknik perancangan UU sudah tidak sesuai dengan ketentuan UU No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan peundang-undangan, serta substansi UU penyiaran sudah tidak dapat lagi mengantisipasi perkembangan kemajuan teknologi di bidang penyiaran terutama terkait dengan perubahan sistem penyiaran analog menjadi sistem penyiaran digital (teknologi digitalisasi penyiaran). Dijelaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ialah lembaga negara yang bersifat independen yang bertugas mengatur isi siaran. Kewenangan dalam bidang perizinan yaitu penilaian terhadap uji coba siaran dalam aspek isi siaran, memberikan rekomendasi perpanjangan IPP.

4

Sedangkan Puji Rianto menyampaikan mengenai masukan untuk draft UU Penyiaran Versi 16 September 2015 bahwa ada hal positif pada draft tersebut antara lain draft relative demokratis, pembatasan kepemilikan jelas dan tegas termasuk dalam hal implementasi siaran jaringan dan pembatasan kepemilikan, pengaturan migrasi siaran analog dan digital, dan pengaturan lembaga penyiaran publik tersendiri.

Selain hal positif tersebut, menurut Puji ada beberapa catatan kritis juga yang perlu diperhatikan. Pertama, isi undang-undang dirasa terlalu ambius dalam menempatkan penyiaran. Kedua, menguatnya peran pemerintah dalam menyelenggarakan penyiaran berdasar pasal 9. Ketiga, posisi KPI yakni penegasan KPI sebagai Media Wacth dengan kewenangan plus. Keempat, yaitu persoalan digitalisasi dimana pemisahan penyedia siaran dan multipleks. Menurut pasal 23 penyelenggaraan penyiaran dengan menggunakan teknologi digital dilakukan oleh : a. RTRI; b. LPS yg memiliki IPF dan IPP; c. badan hukum Indonesia yg telah memiliki IPF dan bergerak dibidang multipleksing. Terakhir, adalah tentang sensor siaran yang dilaksanakan oleh KPI.

Berbeda dengan hasil analisis dari ketua KPID DIY, Sapardiyono. Menurutnya, jumlah pasal RUU sangat progresif mengatur sampai dengan 157 pasal sementara UU 32/2000 hanya 64 pasal. Pada bagian wewenang KPI pada RUU, melaksanakan evaluasi dengar pendapat dalam forum rapat bersama dalam rangka membahas IPP, dan memberikan rekomendasi perpanjangan IPP. Migrasi analog digital 5 tahun terdapat pada pasal 14 dan akan dilakukan bertahap 5 tahun. Sapardiyono juga menjelaskan analisis RUU pada bagian jaminan set top box pasal 22, penyelenggaraan penyiaran dengan menggunakan teknologi digital dilakukan oleh RTRI, LPS yg telah memiliki IPF dan IPP, badan hukum Indonesia yg telah memiliki IPF dan bergerak dibidang multipleksing, kelebihan spectrum frekuensi akan digunakan untuk kepentingan penyiaran dan kepentingan pengembangan telekomunikasi, pasal 32 (1) dan (2) : berpotensi tidak transparan dalam pengelolaannya karena sebagian frekuensi akan digunakan untuk kepentingan bisnis yg lain diluar penyiaran.

Menurut Sapardiyono, KPI akan kuat dengan catatan kewenangan antara KPI dan KPID perlu diatur secara jelas dalam UU untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan supaya saling memperkuat, KPID juga perlu diperkuat dan jangan hanya menjadi kantor perwakilan KPI saja seperti hal halnya lembaga ombudsman, LSF dan lain-lain.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *